Jumat, 10 Oktober 2008

Hidden Child Trafficking (Sebuah kisah “anak kecil” di jalanan..)

TRAFFICKING, menurut Koalisi Anti Trafficking, didefinisikan sebagai pergerakan (manusia) lintas batas, mengandung konotasi pemaksaan, penipuan, dan perdagangan manusia. Trafficking, khususnya perempuan dan anak perempuan biasanya digunakan untuk keperluan prostitusi dan kerja paksa, dan hal ini merupakan salah satu tindakan kriminal internasional yang berkembang sangat cepat. Trafficking merupakan kegiatan kriminal yang memberikan keuntungan ketiga terbesar di samping perdagangan obat terlarang (narkoba) dan senjata. Uang berputar dalam kegiatan itu mencapai milyaran dollar per tahun. Korban trafficking terbesar berasal dari Asia, atau lebih dari 225.000 orang dari Asia Tenggara dan lebih dari 115.000 orang dari Asia Selatan. Dalam laporan Deplu AS tanggal 12 Juni 2001 mengenai trafficking in persons, yang dibuat berdasarkan masukan dari kedutaan-kedutaan besar dan konsulat AS di seluruh dunia, Indonesia bersama 22 negara lain dipandang sebagai sumber trafficking, baik di dalam negeri maupun antarnegara (Kompas.com, Selasa, 27 Agustus 2002)
Trafficking tak hanya terjadi dalam bentuknya yang "klasik" seperti untuk kepentingan bisnis seks komersial dan kerja paksa di pabrik-pabrik industri, perkebunan, dan rumah tangga. Dalam konflik bersenjata, kasus-kasus trafficking meroket, tak hanya terjadi pada perempuan dan anak perempuan, tetapi juga pada anak-anak secara umum. Para pengamat melihat adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi dengan alasan "menyelamatkan" anak-anak, tetapi kemudian anak-anak ini dididik untuk kepentingan ideologi tertentu. Menurut konsultan Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta, Dr Irwanto, anak yang terperangkap dalam jaringan trafficking ini umumnya dipekerjakan sebagai pekerja seks, pekerja rumah tangga, pengemis, lalu lintas obat terlarang, dan berbagai bentuk eksploitasi kerja, seperti di jermal, di restoran, dan perkebunan. (Kompas.com, Kamis, 27 September 2001)
Kasus yang cukup menarik adalah tentang trafficking ini adalah mereka yang memperkerjakan anak-anak untuk dijadikan pengemis ataupun memanfaatkannya sebagai alat ”iba” bagi para pengemis yang mudah kita temui di perempatan jalan di beberapa sudut kota Yogayakarta ini. Memang hal ini sudah menjadi salah satu ”penganggu” keindahan kota ini, yang masih menjadi pertanyaan adalah darimana anak-anak tersebut? Benarkah mereka itu anak dari para ibu pengemis itu? Memang akan sulit untuk mengetahui secara jelas darimana asal-usul mereka hanya dengan satu kali wawancara dengan mereka, namun disini penulis ingin berbagi cerita tentang kisah salah satu ”anak kecil” yang telah terbiasa hidup dengan hiruk pikuk jalanan kota Yogyakarta ini.
Malam itu penulis bersama teman-teman, sedang menikmati suatu malam di sudut jalan legendaris di kota Yogyakarta. Di saat perbincangan diantara kami mulai menghangat tiba-tiba datang seorang ”anak kecil” yang berusia sekitar tujuh tahunan, karena merasa tertarik dengan apa yang sedang kami bicarakan, kami pun ikut mengajaknya untuk sedikit berbagi cerita. Walaupun awal-awalnya dia agak malu untuk lebih terbuka, namun setelah adanya trust dari dia sedikit mau menceritakan tentang kehidupannya walaupun secara implisit. Sedikit demi sedikit dia menceritakan dimana dia biasanya tidur, untuk apa uang yang ia peroleh, sampai jam berapa dia melakukan pekerjaan itu, kenapa ia mau melakukannya. Namun terlihat sekali bahwa ”anak kecil” tersebut banyak kehilangan masa bermainnya, dia terlihat sangat senang sekali bercanda dengan kami. Dia terlihat sangat membutuhkan sebuah perhatian, kasih sayang yang mungkin tidak dia dapatkan. Sebagai anak yang kurang diperhatikan, dia sangat senang ternyata masih ada yang mau mendengarkan suara hatinya. Walaupun perbincangan kami tidak lama, karena si anak ini harus melanjutkan ”tugasnya”, namun setidaknya ada beberapa ”pesan” yang disampaikan oleh anak tersebut.
Dari obrolan itu memang belum dapat disimpulkan bahwa anak tersebut termasuk dari korban trafficking, namun yang jelas banyakanya anak yang diperkerjakan di jalanan tidaklah baik bagi perkembangan anak tersebut. Pada perkembangan manusia setiap tahap perkembangan manusia mempunnyai tugas perkembangan baik psikologis, emosi dan sosial yang harus selsai pada masa itu juga. Jika tidak selesai, ini akan berpengaruh pada tahapan selanjutnya (menghambat tahap selanjutnya). Menurut Piaget anak umur tujuh sampai sebelas tahunan merupakan tahapan concrete operations (operasional konkret), anak sudah mulai berpikir logis walau hanya dalam situasi yang konkrit, saat itu anak akan mudah menangkap sesuatu kalau dia melihat dan memperagakan. Para anak yang hidup di jalanan tersebut akan meperhatikan lebih dari satu dimensi nilai-nilai yang ada di jalanan dan menghubungkan dengan dimensi-dimensi ini satu sama lain. Dalam tahap ini anak akan senang dengan sesuatu yang diperolehnya, sehingga sangat mungkin nilai-nilai yang diperolehnya dijalanan tersebut akan dibawanya hingga dewasa. Seperti perilaku meminta-minta yang biasa yang dilakukannya, dia biasanya akan memperoleh reward (uang). Hal ini tentu akan membuat mereka cenderung mengulang perbuatan yang dianggap menyenangkan tersebut.
Menurut Bandura, dalam teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Para anak yang hidup di jalanan akan belajar dari lingkungan sekitarnya. Ini terlihat dalam obrolan penulis dengan ”anak kecil” tersebut, anak tersebut sudah mulai belajar tentang kerasnya hidup di jalanan, bahkan dia juga sedikit bercerita tentang cerita-cerita ”saru” (bahasa Jawa), yang biasanya dibicarakan orang dewasa.
Selain itu dalam perkembangan manusia, seorang anak mempunyai kebutuhan yang terkait dengan perkembangannya, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan psikis dan kebutuhan sosial. Kebutuhan fisik ini merupakan kebutuhan akan rasa aman, makan, minum, gizi untuk energi dan kehangatan. Sangat jelas sekali bahwa para anak yang hidup di jalanan itu sangat kurang dalam memenuhi kebutuhan ini, mereka makan minum seadanya dan yang memperhatikan adalah kehidupannya yang di jalanan ini sangat rawan dengan polusi udara yang kian memburuk. Seperti kita ketahui, asap yang keluar dari kendaraan mempunyai beberapa racun yang berbahaya seperti timbal dan dioxin. Dapat kita bayangkan apabila anak-anak tersebut setiap harinya menghirup racun-racun tersebut, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mereka tentunya.
Dalam kebutuhan psikis, terbagi dua yaitu kebutuhan emosi dan kebutuhan intelektual. Dalam kebutuhan emosi ada kebutuhan akan rasa aman, rasa puas dan rasa seimbang. Kebutuhan akan rasa aman disini lebih kepada proses attachment (kelekatan) yang biasanya didapatkan dari seorang ibu (orang tua). Apa yang dialami oleh si ”anak kecil” tersebut terlihat bahwa dia sangat kurang dalam pemenuhan kebutuhan ini. Dia terlihat sangat kurang kasih sayang sehingga dapat dikatakan dia merupakan anak yang KBKS (Kurang Belaian Kasih Sayang). Sedang dalam kebutuhan intelektual terdapat kebutuhan rasa ingin tahu, ingin berprestasi dan kelakuan-kelakuan percobaan. Disini mungkin kebutuhannya juga tidak dapat dipenuhi. Para anak-anak tersebut akan kesulitan untuk memperoleh beberapa informasi yang dibutuhkannya, kalaupun memperolehnya belum tentu, dia mendapatkan sesuai dengan yang selayaknya.
Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan sosial, kebutuhan sosial yang dapat dipenuhi oleh anak-anak tersebut munkin hanya sebatas dengan teman-teman ”seprofesinya”, yang tentunya tidak banyak membatunya untuk berkembang lebih baik. Dan yang paling penting dari kebutuhan sosial yang sangat sulit diperoleh anak-anak tersebut adalah kebutuhannya akan peran orang tua terutama ibu. Ini sangat ironis memang, jika kita melihat anak-anak yang banyak mengemis di jalanan, telihat ada seorang ibu yang duduk sambil mengawasi anak-anak tersebut. Benarkah ibu tersebut ibu dari anak-anak tersebut? Bagaimana ibu tersebut dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya? Dalam buku ”Maternal Deprivation” Rutter (1972) (dalam Monks, 2004), bahwa kasih sayang ibulah merupakan suatu syarat yang tidak bisa tiada untuk menjamin suatu perkembangan psikis anak yang sehat. Pemberian kasih sayang ini memang tidak harus berasal dari ibu biologisnya, melainkan dapat pula dari orang-orang lain. Yang penting disini adalah anak dapat mengembangakn tingkah laku lekatnya pada seseorang tertentu yang dapat menerima anak, dan yang memenuhi kebutuhan anak. Dalam buku tersebut juga dikatakan, bahwa perkembangan psikis seseorang, dilihat sebagai integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga perkembangan yang dalam tahun pertama yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar anak tersebut. Yang penting adalah memandang anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serius yang secara aktif ikut memberikan bentuk pada perkembangannya. Anak mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan sosial harus dapar memberikan kesempatan pada anak untuk dapat memenuhi dorongan sosial itu.

DAFTAR PUSTAKA

Monks, F.J., Knoers, A.M.P, dan Hadinoto, SR.2004. Psikologi Perkembangan:Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gama UP
WWW.Kompas.com, Selasa, 27 Agustus 2002
WWW.Kompas.com, Kamis, 27 September 2001

0 comments: