Sabtu, 18 Oktober 2008

Cara Mendeteksi Kebohongan

0 comments
Saat ini jujur adalah perkara yang sulit ditemui, banyak orang tidak percaya kepada orang lain karena kebohongan orang tersebut. Kebohongan tersebut emang biasanya terasa manis namun sesungguhnya beracun. Banyak diantara kita dirugikan karena kebohongan orang lain. Dan celakanya banyak orang yang tidak kalau kita sering dibohongi oleh orang lain. Emang tidak mudah untuk mengetahui orang lain berkata jujur atau berbohong. Namun bukan berarti kita tidak bias mengetahui bahwa orang lain tersebut jujur atau tidak. Salah satu “alat deteksi” kebohongan adalah dengan melihat komunikasi nonverbal. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa secara virtual mustahil bagi kita untuk memonitor dan mengontrol segala macam saluran ini sekaligus, bahkan orang-orang yang sering berkata bohong dan yang sering melakukan kebohongan praktis (misalnya para negosiator, artis peran, wiraniaga) sekalipun seringkali masih dapat diketahui kebohongannya melalui beberapa saluran isyarat nonverbal. Sebagai contoh, jika mereka sibuk mengatur ekspresi wajah dan kontak matanya, maka fakta bahwa mereka sedang berbohong mungkin masih dapat dilihat melalui gerakan dan postur tubuhnya, atau melalui perubahan aspek-aspek cara berbicara nonverbalnya – nada suaranya dan isyarat-isyarat lain yang terkait.
Isyarat nonverbal yang dapat kita lihat antara lain :
mikroekspresi, yaitu ekspresi wajah yang datar dan hanya berlangsung selama sepersekian puluh detik. Reaksi semacam itu tampak di wajah secara cepat sekali setelah terjadinya peristiwa yang membangkitkan emosi dan sulit untuk disembunyikan rapat-rapat. Reaksi ini cukup dapat memperlihatkan perasaan atau emosi yang sebenarnya. Jadi, jika Anda memiliki alasan untuk mencurigai bahwa seseorang sedang berbohong, katakan tentang sesuatu yang anda rasa dapat membuat orang itu terkejut atau tersinggung, lalu perhatikan baik-baik wajahnya pada saat Anda mengatakan hal itu kepadanya. Bila Anda melihat sebuah ekspresi yang kemudian dengan sangat cepat diikuti oleh ekspresi lain yang berbeda, waspadalah: orang itu mungkin sedang mencoba membohongi Anda.
diskrepansi antarsaluran, yaitu ketidakkonsistenan di antara isyarat-isyarat nonverbal yang berasal dari saluran-saluran yang berbeda. Ketidakkonsistenan itu berakar pada fakta, bahwa orang yang sedang berbohong menemui kesulitan untuk mengontrol semua saluran itu sekaligus. Sebagai contoh, seorang terdakwa yang sedang mencoba berbohong mungkin berhasil mengatur ekspresi wajahnya dan tetap mampu menjaga kontak mata yang tinggi dengan para juri. Tetapi, pada saat yang sama, ia mungkin memperlihatkan perubahan sikap tubuh atau gerakan tubuh yang menunjukkan bahwa ia sedang mengalami rangsangan emosional yang tinggi.
paralanguage. Ketika orang berbohong, pitch suaranya seringkali meninggi, dan mereka cenderung berbicara lebih lamban dan kurang lancar. Selain itu, mereka sering melakukan sentence repair (perbaikan kalimat) – misalnya dengan memulai sebuah kalimat, memotongnya, kemudian memulainya lagi. Jadi, dengarkan baik-baik. Jika Anda melihat adanya perubahan-perubahan di dalam suaranya, orang tersebut mungkin sedang berbohong.
kontak mata. Orang-orang yang sedang berbohong lebih sering mengedipkan mata dan pupil matanya lebih melebar dibanding mereka yang tidak berbohong. Mereka mungkin juga memperlihatkan kontak mata yang lebih rendah dibanding biasanya atau – yang mengejutkan – justru lebih tinggi dibanding biasanya, ketika mereka mencoba berpura-pura jujur dengan memandang langsung ke mata lawan bicaranya.
ekspresi wajah yang berlebihan. Sebagai contoh, mereka mungkin tersenyum lebih banyak – atau lebih lebar – dibanding biasanya, atau memperlihatkan kesedihan atau emosi lain yang lebih besar dibanding ekspresi tipikalnya ketika menghadapi situasi yang sama.Sebagai contoh: jika seseorang menjawab “tidak” untuk permintaan Anda kemudian memperlihatkan penyesalan yang berlebihan, maka ini merupakan tanda yang jelas bahwa alasan yang diberikannya untuk menolak permintaan Anda mungkin tidak akurat.
Dengan memperhatikan isyarat-isyarat nonverbal ini secara saksama, kita seringkali dapat mengetahui bahwa orang lain sedang membohongi kita – atau sekadar mencoba menyembunyikan perasaannya dari kita. Tetapi, keberhasilan kita dalam hal ini jauh dari sempurna. Para pembohong yang luar biasa ahli seringkali tetap mampu membohongi kita. Tetapi “pekerjaan” mereka menjadi lebih sulit jika kita betul-betul memperhatikan petunjuk-petujuk di atas. Dan untuk mempelajari lebih mendalam dalam masalah ini tebtunya memerlukan banyak usaha dan praktek. Dan tentunya hal ini bisa berguna bagi kita untuk memahami orang lain. Karena bagaimanpun juga orang berbohong pada kita tentunya mempunyai maksud dan alas an sendiri dan bila kita bisa menemukan dan memahaminya tentunya kita akan lebih arif menghadapi orang tersebut

Jumat, 10 Oktober 2008

Review UUPKDRT

0 comments
Setelah lama diperjuangkan akhirnya UUPKDRT diundangkan oleh Presiden Megawati pada 22 September 2004, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 . Undang-Undang ini telah diperjuangkan lebih dari 6 tahun. Advokasi dilakukan sejak tahun 1997 yang kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU KDRT) inisiatif DPR pada Mei 2003. yang selanjutnya di bahas di Pansus Komisi VII DPR-RI yang akhirnya disahkan dalam sidang paripurna 14 November 2004.
Tentu saja keberhasilan ini merupakan patut di banggakan oleh semua pihak. Hal ini merupakan langkah maju dalam sejarah perjuangan kaum perempuan yang selama ini dianggap sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada beberapa hal yang ada dalam UU Penghapusan KDRT yang patut dicermati. Diantaranya adalah ketegasan bahwa KDRT merupakan tindak kejahatan, lalu adanya ketegasan tanggung jawab negara dan masyarakat intuk melindungi korban kekerasan. Kemudian diakuinya bentuk-bentuk KDRT selain kekerasan fisik, yaitu kekerasan psikis, seksual dan ekonomi. Selain itu juga tentang pemaksaan hubungan seksual yang tidak wajar sebagai kejahatan yang harus dihukum.
Di dalam UUPKDRT itu juga berisi tetang tujuan UU yang tidak hanya melindungi korban tapi juga mencegah terjadinya kekerasan, adanya hak-hak korban dan peran-peran polisi, advokad, pekerja sosial, tenaga kesehatan dan pedamping korban. Dan juga diterimanya pembuktian seorang saksi korban sebagai alat bukti sah.
Secara umum Undang-undang ini di bagi dalam 10 BAB, 56 pasal yang isinya secara ringkas sebagai berikut:
Arti dari KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Pasal 1 ayat 1)
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Lingkup rumah tangga yang dilindungi
Suami, isteri, dan anak,orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (pasal 2 ayat 1)

Bentuk-bentuk KDRT yang diatur
a.Kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. (pasal 6)
b.Kekerasan psikis. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
c.Kekerasan seksual; Kekerasan seksual meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (pasal 8)
d.penelantaran rumah tangga. (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (pasal 9)

Hak-Hak Korban
Korban berhak mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani. (pasal 10) dan juga pemulihan (pasal 39)

Kewajiban Pemerintah Dan Masyarakat
Pemerintah:
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT (pasal 11) dengan merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (pasal 12).
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.(pasal 13)
Masyarakat:
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. (pasal 15)
Kepolisian:
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (pasal 18); Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (pasal 19); Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara sebagaimana diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas Pasal 35 (1). Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. (pasal 36)
Pengadilan:
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (pasal 28).
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut (pasal 30 ayat 2)
Pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus,mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan (Pasal 31 ayat1).

Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (pasal 33). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan (pasal 34 ayat 1)
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari disertai dengan surat perintah penahanan. (pasal 38)

Pelaporan dan Permohonan Perintah Perlindungan
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara (pasal 26).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 27).
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: a. korban atau keluarga korban; b. teman korban; c. kepolisian; d. relawan pendamping; atau e. pembimbing rohani (pasal 29) dan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (pasal 30)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Yang diajukan 7 hari sebelum berakhir masa berlakunya (pasal 32 )

Sanksi
Pelaku kekerasan dapat dikenai sanksi pidana dan penjara (pasal 44-49), serta sanksi tambahan yaitupembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu (pasal 50). Pelaku kekersan seksual dapat dipidana penjara paling lama 112 tahun atau denda paling banyak 36 juta rypiah dan apabila dilakukan untuk tujuan komersial dipidana paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 300 juta

Kelebihan
Pertama, kasus KDRT bukan lagi delik aduan dari korban. Bahkan dalam pasal 15 diungkapkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, termasuk melaporkan ke polisi.
Kedua, syaratnya lebih ringan, cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat bukti sudah sah dan dapat digunakan untuk membuktikan seseorang terdakwa bersalah. Korban KDRT bisa menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain. Hal ini akan mempermudah pembuktian mengingat peristiwa KDRT yang umumnya hanya diketahui oleh pelaku dan korban dan terjadi di ruang domestik, yang tertutup.
Ketiga, adanya wewenang kepolisian yang lebih tinggi, sebab kepolisian dapat menangkap pelaku untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah (surat menyusul) terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Terlebih penangguhan penahanan tidak berlaku.
Keempat, memprioritaskan penyelesaian perkara KDRT, walaupun ada tuntutan balik yang diajukan pelaku. Hal ini penting, karena selama ini ketakutan adanya tuntutan balik pelakulah yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena umumnya korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.
Kelima, lebih memberikan perlindungan pada korban. Bahkan bila dicermati, masalah perlindungan korban mendapat porsi pengaturan yang besar, diatur dalam 22 pasal (dari pasal 16 - 38), 40 persen dari 55 pasal yang ada. Dalam pasal 16 misalnya dinyatakan bahwa dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi.

Kekurangan
Tidak mengatur hukuman minimal lecuali untuk kejahatan yang diatur pada pasal 47 dan pasal 48. hal ini bisa berakibat pada rendahnya hukuman yang dijatuhkan pada hakim karena keputusannya dikembalikan pada keyakinan dan rasa adil dari hakim. Jika kesadaran gender masih rendah dalam diri mereka, tidak menutup kemungkinan justru korban yang disalahkan dan dijatuhi hukuman yang sangat ringan.

Ruang lingkup KDRT yang terbatas pada suami, isteri, dan anak,orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, serta orang yang bekerja membantu rumah tangga tidak mencangkup mantan pasangan dan mereka yang memiliki relasi intim diluar yang disebutkan. Padahal banyak kekerasan terjadi dilakukan oleh relasi hidup bersama dan mantan pasangan.
Tidak diaturnya peran hakim dan jaksa secara jelas dan tegas. Padahal peran kedua institusi tersebut menentukan bagi berjalan atau tidaknya UU PKDRT. Jika kedua institusi diatur dengan jelas maka akan timbul kekhawatirkan akan adanya mafia peradilan yang selama ini menjadi noda hitam peradilan kita.

Hidden Child Trafficking (Sebuah kisah “anak kecil” di jalanan..)

0 comments
TRAFFICKING, menurut Koalisi Anti Trafficking, didefinisikan sebagai pergerakan (manusia) lintas batas, mengandung konotasi pemaksaan, penipuan, dan perdagangan manusia. Trafficking, khususnya perempuan dan anak perempuan biasanya digunakan untuk keperluan prostitusi dan kerja paksa, dan hal ini merupakan salah satu tindakan kriminal internasional yang berkembang sangat cepat. Trafficking merupakan kegiatan kriminal yang memberikan keuntungan ketiga terbesar di samping perdagangan obat terlarang (narkoba) dan senjata. Uang berputar dalam kegiatan itu mencapai milyaran dollar per tahun. Korban trafficking terbesar berasal dari Asia, atau lebih dari 225.000 orang dari Asia Tenggara dan lebih dari 115.000 orang dari Asia Selatan. Dalam laporan Deplu AS tanggal 12 Juni 2001 mengenai trafficking in persons, yang dibuat berdasarkan masukan dari kedutaan-kedutaan besar dan konsulat AS di seluruh dunia, Indonesia bersama 22 negara lain dipandang sebagai sumber trafficking, baik di dalam negeri maupun antarnegara (Kompas.com, Selasa, 27 Agustus 2002)
Trafficking tak hanya terjadi dalam bentuknya yang "klasik" seperti untuk kepentingan bisnis seks komersial dan kerja paksa di pabrik-pabrik industri, perkebunan, dan rumah tangga. Dalam konflik bersenjata, kasus-kasus trafficking meroket, tak hanya terjadi pada perempuan dan anak perempuan, tetapi juga pada anak-anak secara umum. Para pengamat melihat adanya pihak-pihak yang memanfaatkan situasi dengan alasan "menyelamatkan" anak-anak, tetapi kemudian anak-anak ini dididik untuk kepentingan ideologi tertentu. Menurut konsultan Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta, Dr Irwanto, anak yang terperangkap dalam jaringan trafficking ini umumnya dipekerjakan sebagai pekerja seks, pekerja rumah tangga, pengemis, lalu lintas obat terlarang, dan berbagai bentuk eksploitasi kerja, seperti di jermal, di restoran, dan perkebunan. (Kompas.com, Kamis, 27 September 2001)
Kasus yang cukup menarik adalah tentang trafficking ini adalah mereka yang memperkerjakan anak-anak untuk dijadikan pengemis ataupun memanfaatkannya sebagai alat ”iba” bagi para pengemis yang mudah kita temui di perempatan jalan di beberapa sudut kota Yogayakarta ini. Memang hal ini sudah menjadi salah satu ”penganggu” keindahan kota ini, yang masih menjadi pertanyaan adalah darimana anak-anak tersebut? Benarkah mereka itu anak dari para ibu pengemis itu? Memang akan sulit untuk mengetahui secara jelas darimana asal-usul mereka hanya dengan satu kali wawancara dengan mereka, namun disini penulis ingin berbagi cerita tentang kisah salah satu ”anak kecil” yang telah terbiasa hidup dengan hiruk pikuk jalanan kota Yogyakarta ini.
Malam itu penulis bersama teman-teman, sedang menikmati suatu malam di sudut jalan legendaris di kota Yogyakarta. Di saat perbincangan diantara kami mulai menghangat tiba-tiba datang seorang ”anak kecil” yang berusia sekitar tujuh tahunan, karena merasa tertarik dengan apa yang sedang kami bicarakan, kami pun ikut mengajaknya untuk sedikit berbagi cerita. Walaupun awal-awalnya dia agak malu untuk lebih terbuka, namun setelah adanya trust dari dia sedikit mau menceritakan tentang kehidupannya walaupun secara implisit. Sedikit demi sedikit dia menceritakan dimana dia biasanya tidur, untuk apa uang yang ia peroleh, sampai jam berapa dia melakukan pekerjaan itu, kenapa ia mau melakukannya. Namun terlihat sekali bahwa ”anak kecil” tersebut banyak kehilangan masa bermainnya, dia terlihat sangat senang sekali bercanda dengan kami. Dia terlihat sangat membutuhkan sebuah perhatian, kasih sayang yang mungkin tidak dia dapatkan. Sebagai anak yang kurang diperhatikan, dia sangat senang ternyata masih ada yang mau mendengarkan suara hatinya. Walaupun perbincangan kami tidak lama, karena si anak ini harus melanjutkan ”tugasnya”, namun setidaknya ada beberapa ”pesan” yang disampaikan oleh anak tersebut.
Dari obrolan itu memang belum dapat disimpulkan bahwa anak tersebut termasuk dari korban trafficking, namun yang jelas banyakanya anak yang diperkerjakan di jalanan tidaklah baik bagi perkembangan anak tersebut. Pada perkembangan manusia setiap tahap perkembangan manusia mempunnyai tugas perkembangan baik psikologis, emosi dan sosial yang harus selsai pada masa itu juga. Jika tidak selesai, ini akan berpengaruh pada tahapan selanjutnya (menghambat tahap selanjutnya). Menurut Piaget anak umur tujuh sampai sebelas tahunan merupakan tahapan concrete operations (operasional konkret), anak sudah mulai berpikir logis walau hanya dalam situasi yang konkrit, saat itu anak akan mudah menangkap sesuatu kalau dia melihat dan memperagakan. Para anak yang hidup di jalanan tersebut akan meperhatikan lebih dari satu dimensi nilai-nilai yang ada di jalanan dan menghubungkan dengan dimensi-dimensi ini satu sama lain. Dalam tahap ini anak akan senang dengan sesuatu yang diperolehnya, sehingga sangat mungkin nilai-nilai yang diperolehnya dijalanan tersebut akan dibawanya hingga dewasa. Seperti perilaku meminta-minta yang biasa yang dilakukannya, dia biasanya akan memperoleh reward (uang). Hal ini tentu akan membuat mereka cenderung mengulang perbuatan yang dianggap menyenangkan tersebut.
Menurut Bandura, dalam teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. Para anak yang hidup di jalanan akan belajar dari lingkungan sekitarnya. Ini terlihat dalam obrolan penulis dengan ”anak kecil” tersebut, anak tersebut sudah mulai belajar tentang kerasnya hidup di jalanan, bahkan dia juga sedikit bercerita tentang cerita-cerita ”saru” (bahasa Jawa), yang biasanya dibicarakan orang dewasa.
Selain itu dalam perkembangan manusia, seorang anak mempunyai kebutuhan yang terkait dengan perkembangannya, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan psikis dan kebutuhan sosial. Kebutuhan fisik ini merupakan kebutuhan akan rasa aman, makan, minum, gizi untuk energi dan kehangatan. Sangat jelas sekali bahwa para anak yang hidup di jalanan itu sangat kurang dalam memenuhi kebutuhan ini, mereka makan minum seadanya dan yang memperhatikan adalah kehidupannya yang di jalanan ini sangat rawan dengan polusi udara yang kian memburuk. Seperti kita ketahui, asap yang keluar dari kendaraan mempunyai beberapa racun yang berbahaya seperti timbal dan dioxin. Dapat kita bayangkan apabila anak-anak tersebut setiap harinya menghirup racun-racun tersebut, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan dan kesehatan mereka tentunya.
Dalam kebutuhan psikis, terbagi dua yaitu kebutuhan emosi dan kebutuhan intelektual. Dalam kebutuhan emosi ada kebutuhan akan rasa aman, rasa puas dan rasa seimbang. Kebutuhan akan rasa aman disini lebih kepada proses attachment (kelekatan) yang biasanya didapatkan dari seorang ibu (orang tua). Apa yang dialami oleh si ”anak kecil” tersebut terlihat bahwa dia sangat kurang dalam pemenuhan kebutuhan ini. Dia terlihat sangat kurang kasih sayang sehingga dapat dikatakan dia merupakan anak yang KBKS (Kurang Belaian Kasih Sayang). Sedang dalam kebutuhan intelektual terdapat kebutuhan rasa ingin tahu, ingin berprestasi dan kelakuan-kelakuan percobaan. Disini mungkin kebutuhannya juga tidak dapat dipenuhi. Para anak-anak tersebut akan kesulitan untuk memperoleh beberapa informasi yang dibutuhkannya, kalaupun memperolehnya belum tentu, dia mendapatkan sesuai dengan yang selayaknya.
Kebutuhan yang ketiga adalah kebutuhan sosial, kebutuhan sosial yang dapat dipenuhi oleh anak-anak tersebut munkin hanya sebatas dengan teman-teman ”seprofesinya”, yang tentunya tidak banyak membatunya untuk berkembang lebih baik. Dan yang paling penting dari kebutuhan sosial yang sangat sulit diperoleh anak-anak tersebut adalah kebutuhannya akan peran orang tua terutama ibu. Ini sangat ironis memang, jika kita melihat anak-anak yang banyak mengemis di jalanan, telihat ada seorang ibu yang duduk sambil mengawasi anak-anak tersebut. Benarkah ibu tersebut ibu dari anak-anak tersebut? Bagaimana ibu tersebut dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya? Dalam buku ”Maternal Deprivation” Rutter (1972) (dalam Monks, 2004), bahwa kasih sayang ibulah merupakan suatu syarat yang tidak bisa tiada untuk menjamin suatu perkembangan psikis anak yang sehat. Pemberian kasih sayang ini memang tidak harus berasal dari ibu biologisnya, melainkan dapat pula dari orang-orang lain. Yang penting disini adalah anak dapat mengembangakn tingkah laku lekatnya pada seseorang tertentu yang dapat menerima anak, dan yang memenuhi kebutuhan anak. Dalam buku tersebut juga dikatakan, bahwa perkembangan psikis seseorang, dilihat sebagai integrasi proses-proses sosialisasi, bukanlah suatu perkembangan yang hanya ditentukan oleh hukum-hukum dari dalam diri orang saja. Juga perkembangan yang dalam tahun pertama yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar anak tersebut. Yang penting adalah memandang anak dari awal-mula sebagai pasangan interaksi yang serius yang secara aktif ikut memberikan bentuk pada perkembangannya. Anak mempunyai sifat ingin bersatu dengan lingkungan sosial maka lingkungan sosial harus dapar memberikan kesempatan pada anak untuk dapat memenuhi dorongan sosial itu.

DAFTAR PUSTAKA

Monks, F.J., Knoers, A.M.P, dan Hadinoto, SR.2004. Psikologi Perkembangan:Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gama UP
WWW.Kompas.com, Selasa, 27 Agustus 2002
WWW.Kompas.com, Kamis, 27 September 2001

”Ayah dalam Keluarga Usia Muda”

0 comments
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan lepas dari kehidupan keluarga. Keluarga inilah yang merupakan kehidupan sosial pertama kita dalam mengarungi hidup ini. Terlepas dari nilai-nilai, norma-norma yang berkembang dalam masyarakat ataupun budaya yang ada, kita pasti akan membawa nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh dalam keluarga kita.

Keluarga terkadang disebut sebagai suatu kelompok yang merupakan unit terkecil dari masyarakat. Keluarga yang lengkap terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga disebut kelompok karena setiap peran dimainkan dalam keluarga(Andayani, 2000). Masing-masing anggota keluarga mempunyai tugas, kewajiban dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Peran yang ada pada anggota keluarga ini sangatlah penting agar terciptanya suatu keluarga yang harmonis dan sejahtera. Keluarga yang harmonis ini dapat dilihat dari kualitas interaksi dan komunikasi bagi setiap anggota keluarga. Keluarga harmonis ini dalam masyarkat kita yang terkenal akan religiusitasnya ini sering di terjemahakan sebagai keluarga yang sakinah. Menurut Prof. Drs Koentjoro Mbsc. Phd. dalam kuliah Psikologi Keluarga, keluarga sakinah terdiri dari 5 saling, yaitu saling mencintai, saling mengingatkan, saling menjaga, saling memahami dan saling mendoakan.

Tentunya tidak mudah untuk mencapai suatu keluarga yang harmonis ini, di butuhkan suatu komunikasi dan suatu budaya atau kebiasaan keluarga yang dapat memfasilitasi peran anggota keluarga guna tercapainya keluarga yang harmonis. Disini peran orang tua sangatlah penting dalam keluarga itu sendiri. Orang tua harus dapat menumbuhkan suasana yang harmonis dalam keluarganya. Peran orang tua disini dapat dilihat bagaimana mereka mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Bagaimana peran orang tuanya dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya ini akan menciptakan keluarganya itu menjadi keluarga yang harmonis atau tidak.

Parenting menurut Shanock (Gambarino & Bern, 1992 dalam Andayani dan Koentjoro,2004) adalah suatu hubungan yang intens berdasarkan kebutuhan yang berubah secara pelan dengan perkembangan anak. Idealnya, setiap orang tua harus ikut mengambil bagian dalam mengantarkan anak-anaknya menjadi seorang dewasa. Setiap anak akan belajar untuk mandiri dan dewasa dengan adanya internalisasi nilai-nilai yang diberikan oleh orang tuanya sehingga menumbuhkan perilaku yang dibawanya kelak jika dewasa. Perilaku yang timbul di masa dewasa ini tidak lepas dari pengalaman-pengalaman yang tumbuh dari keluarganya yang menyebabkan setiap orang mempunyai nilai-nilai sendiri dalam masyarakat.

Dalam mengasuh anak ini dalam masyarakat kita peran ibu dirasakan lebih besar daripada peran ayahnya itu sendiri. Ini terkait dengan budaya kita bila tugas seorang ibu adalah mengasuh anak, dalam budaya jawa sendiri kita mengenal istilah masak, manak, macak (Memasak (menyiapkan makanan), melahirkan (mengasuh anak) dan berhias) yang diidentikan terhadap seorang ibu (wanita). Bahkan dewasa ini peran ibu yang identik dengan mengasuh anak pun mulai luntur dengan banyaknya wanita karier yang sudah tidak sempat lagi untuk mengasuh anaknya dan tugas pengasuhan ini dibebankan kepada baby sister ataupun pembantu lainnya. Walaupun akhir-akhir para orang tua (ibu-ibu) sudah mulai sadar bahwa pola pengasuhan oleh baby sister ataupun orang lain itu akan memberikan dampak yang kurang baik perkembangan anaknya.

Selain peran ibu dalam mengasuh anak, kita juga tidak akan lepas dari peran ayah itu sendiri. Peran ayah sekarang dirasa penting guna tercapainya keluarga yang harmonis. Karena ayah merupakan kepala keluarga yang tentunya memiliki suatu kekuatan untuk menentukan arah dari keluarga itu sendiri. Seorang ayah harus mampu membawa anak-anak menjadi menjadi seorang dewasa yang kelak akan membawa nama keluarga.

Dalam makalah ini penulis mencoba mengamati peran ayah dalam keluarganya dalam keluarga usia muda. Keluarga tersebut terdiri dar A (Ayah), D (ibu) dan Z (anak). Keluarga ini menikah pada usia 22 tahun untuk A dan D usia 19 tahun. Dan sekarang merupakan tahun kedua bagi kedua pasangan tersebut dalam menjalni keluarga dan sudah dikaruniani seorang anak yang berumur 1 tahun. Saat ini A masih terdaftar sebagai Mahasiswa semester akhir di sebuah PTS di kota M dan sedang menyelesaikan skripsinya, sedangkan D juga seorang mahasiswa di perguruan tinggi yang sama. Dalam keseharianya keluarga ini masih menempati rumah orang tuanya masing-masing, biasnya setiap hari senin sampai jumat keluarga ini tinggal di rumah orang tua A sedang hari Sabtu-Minggu di rumah orang tua D. Baik A maupun D belum mempunyai penghasilan tetap, dari segi ekonomi keduanya masih mengandalakan uluran dari orang-orang tuanya. Begitupula dalam pengasuhan anaknya kedua orang tua baik A dan D masih banyak terlibat dalam pengasuhan cucunya tersebut. A dan D oleh kedua orang tuanya dianggap kurang mampu untuk mengasuh anaknya secara benar.

Sebagai pasangan muda, A seringkali masih lupa akan perannya sekarang sebagai seorang suami/ ayah mereka terkadang masih terbawa oleh kebiasaan teman-temannyanya yang notabene belum berkeluarga, seperti masih suka bermain PS2/ games di komputer, nongkrong dansebagainya. Dan masih tergantungnya perekonomian keluarga dengan orang tuanya serta belum punya penghasilan yang tetap membuatnya kurang begitu memikirkan tentang memberi nafkah bagi istrinya. Namun sejak kelahiran Z, sedikit berubah dia sudah mulai memikirkan untuk membesarkan anaknya sendiri. A terlihat ingin selalu terlibat dalam pengasuhan anaknya. Dia sering bergantian dengan D dalam pengasuhannya. Namun A juga sering terlihat merasa bosan dengan kegiatan mengasuh anak tersebut, jika sudah lelah atau bosan dia biasanya menyuruh adiknya atau membawa Z ke tempat B (bibi A) untuk menjaga Z. Hal ini sering dilakukannya A, karena sebagai tempat dari keluar dari tanggung jawabnya, A juga biasanya memanfaatkannya untuk melakukan kegiatan lain seperti pergi ke tempat teman ataupun bermain PS/ games di komputer yang sudah merupakan hobinya. Hal ini jugalah yang membuat orang tua merasa kurang percaya terhadap A dalam pengasuhan anaknya.

Begitupula dengan D, dia terlihat kurang begitu siap dengan keadaannya sekarang. Dia masih sering meninggalkan tugasnya untuk mengasuh anaknya dan biasanya D lebih sering menyerahkan tugas tersebut kepada orang tua D, yang merupakan seorang pensiunan dan terlihat sangat senang dengan kegiatan mengasuh Z yang merupakan cucunya yang pertama itu sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luangnya. Selain itu, D yang merupakan anak terakhir dari dua bersaudara merupakan anak yang selalu dipenuhi keinginannya oleh orang tuanya, sehingga menyebabkan kurangnya kemandirian pada diri D. D terlihat masih belum bisa lepas dari ketergantungannya dengan orang tuanya.

Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik antara orang tua A dan orang tua D dalam pemberian peran dan tanggung jawab dalam pengasuhan anak mereka. Mereka harus diberi kepercayaan dalam pengasuhan anaknya secara penuh. Walaupun masih diperlukan beberapa bimbingan terhadap pasangan muda ini, setidaknya harus diberikan arahan tentang pentingnya pengasuhan Z oleh kedua orang tuanya. Selain komunikasi kedua orang tua baik A dan D harus menumbuhkan adanya keterbukaan dalam keluarga tersebut sehingga sebagai pasangan muda mereka akan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam pengasuhan anaknya tersebut tanpa ditutupi sehingga bila diperlukan orang tua A dan D dapat membantu.
DAFTAR PUSTAKA

Andayani, B. 2000. Profil keluarga anak-anak bermasalah. Jurnal Psikologi,
2. Desember.

Andayani, B. dan Koentjoro. 2004. Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju Coparenting. Sidoarjo: Citramedia

Menunggu Peran Polwan... ( sepenggal surat untuk Polri!)

1 comments
Buruknya citra polisi di mata masyarakat tidak lepas dari buruknya peran yang diberikan oleh institusi tersebut, banyak hal yang dilakukan oknum-oknum polisi tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat luas. Polisi dianggap sebagai srigala berbulu domba, banyak oknum-oknum polisi yang memanfaatkan “seragamnya” untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Tak sedikit pula oknum polisi yang mengandalkan jabatannya untuk memanfaatkan celah-celah hukum yang ada guna memperoleh “uang saku tambahan”. Bahkan tindakan para oknum polisi ini sudah dianggap lumrah, sehingga menjadi suatu budaya. Budaya yang amat kuat ini tidaklah mudah diberantas, pergantian puncuk pimpinan yang silih berganti belum menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan yang berarti. Bahkan berubahnya Polri menjadi instusi sipil beberapa tahun lalu, juga tidak memberikan sumbangan yang cukup untuk perubahan yang lebih baik. Walaupun gebrakan Kapolri terbaru (Sutanto) patut diacungi jempol dalam penanganan masalah judi togel dan beberapa penyakit masyarakat lainnya.
Selain citra buruk yang ada di Polri, ada satu elemen polisi yang tak kalah menarik untuk dibahas, yaitu peran polisi wanita (polwan) dalam Polri itu sendiri dan perannya di masyarakat. Para polisi wanita masih dipandang sebelah mata, hal ini tidak lepas dari harapan masyarakat terhadap sosok polisi yang tegas, berwibawa dan tanpa kompromi. Hal ini tidak hanya muncul dari polisi laki-laki sendiri namun juga dari polisi wanita tersebut sendiri, banyak polisi wanita yang merasa nyaman diperlakukan seperti itu dengan segala keuntungan yang diperoleh. Dalam diskusi terbatas mengenai Perspektif Polwan di Mata Non-Polri, sebagai permulaan riset mengenai ”Woman in Uniform” yang diselenggarakan Partnership (Kemitraan)—dalam upaya mereformasi pemerintahan Indonesia, mencuatkan berbagai persoalan polwan yang menarik untuk dicermati. Misalnya saja mengenai berapa jumlah ideal polwan, bagaimana tuntutan masyarakat, bidang tugas apa saja yang cocok untuk polwan, adakah bakat atau skill khusus yang dimiliki mereka yang tak dimiliki polki, perspektif jender yang bagaimana tepatnya serta bagaimana perspektif peran mereka dalam keluarga terkait posisinya sebagai penegak hukum (Kompas, Kamis, 1 September 2005)
Polwan sejauh ini masih belum mempunyai peran yang penting dalam jajaran kepolisian. Selain jumlahnya yang sangat terbatas, kebanyakan Polwan yang bertugas lebih bertanggungjawab pada masalah administrasi. Polisi laki-laki tidak terlalu suka dengan pekerjaan administrasi, untuk itu setiap ada Polwan pasti ditugaskan untuk mengurus masalah administrasi. Padahal tugas Polwan sebenarnya ujung tombak dari penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia.
Peningkatan jumlah Polwan ini juga penting karena seiring dengan semakin terkuaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang jumlahnya cukup tinggi. Menurut Laporan Komnas Perempuan tahun 2005, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2004 sebanyak 14.020. Angka ini mengalami kenaikan hampir 100 persen dari tahun 2003 yaitu 7787 kasus yang sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga (www.jurnalperempuan.com).
Dalam berbagai pengamatan, selain jumlahnya sedikit, posisi polwan juga kerap terlecehkan oleh institusinya sendiri. Namun, bila mereka diberi peran layaknya polisi laki-laki yang harus memburu penjahat, ada cerita polwan yang justru ditabrak penjahat dan penjahat itu akhirnya malah kabur. Pengerdilan lain dapat dilihat setiap kali kita masuk ke ruang pejabat Polri. Seringkali kita menjumpai sosok polwan yang berkulit halus, jangkung, dan cantik-cantik bak model. Sampai-sampai sulit membedakan apakah mereka itu seorang polisi, atau sekretaris sebuah perusahaan ternama. Sangat berbeda bila kita bandingkan dengan polwan yang bertugas di divisi atau bidang humas, Direktorat Lalu Lintas yang bertugas dijalan, bagian reserse lapangan, intelijen di lapangan, dan bidang-bidang lain yang berurusan dengan kegiatan di lapangan. Padahal, di bidang-bidang itu mereka lebih memiliki arti karena langsung bersentuhan dan dibutuhkan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini Polisi Wanita (Polwan) masih belum optimal pemberdayaannya dalam hal mendukung terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Polwan selama ini tampaknya masih terbatas sebagai pelengkap polisi pria dalam pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari. Kalaupun ada pemberdayaan peran Polwan, umumnya masih terbatas pada bidang administrasi dan pembinaan masyarakat. Kalaupun ada penonjolan dalam hal darurat, biasanya hanya pada saat ada unjuk rasa yang mana dengan keluwesannya Polwan dikedepankan sebagai negosiator. Sedangkan peran yang diberikan kepada Polwan di luar ke-binmasan (pembinaan masyarakat) atau kemitraan dan bidang administrasi bila dirasa sangat kurang, hal itu berkaitan dengan anggapan bahwa, dunia kerjanya memang berat bagi wanita, sehingga bidang kerja tersebut didominasi Polisi pria, sedangkan Polwan cenderung sebagai pelengkap saja. Untuk itu, bisa kita lihat adanya bidang kelalulintasan yang melibatkan Polwan. Pemberdayaan Polwan di bidang kelalulintasan umumnya hanya sebagai pembantu Polisi pria. Terutama dalam menjaga kelancaran lalu lintas di tempat-tempat tertentu (yang tidak begitu ramai), khususnya lagi untuk bertugas menyeberangkan anak-anak sekolah atau penyeberang jalan lainnya. Tak terkecuali dalam penanganan Surat Izin Mengemudi (SIM) atau Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Polwan cenderung ditempatkan sebagai urusan administrasi di belakang meja saja, tidak di lapangan untuk menguji secara langsung
Bukan hanya dari segi jumlah saja yang menjadi persoalan, eksistensi polwan dalam institusi Polri juga masih dipertanyakan. Polwan jarang mendapatkan posisi komando operasional dan karier mereka biasanya tidak bisa mencapai level yang tinggi. Dulu polwan yang berpangkat Brigadir Jenderal berjumlah enam orang, tetapi sekarang tidak ada lagi. Bahkan polwan yang berpangkat Komisaris Besar pun hanya sedikit saja jumlahnya. Eksistensi ini sangatlah penting intuk memotivasi polwan itu sendiri. Seseorang akan lebih termotivasi bila keberadaanya diakui oleh pihak lain. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaanya tersebut, akan merasa mereka menjadi salah satu bagian dari Polri. Dan hal ini tentunya akan berimbas pada performansi kerja dari polwan itu sendiri. Mereka akan berusaha menjalankan peran polwan tersebut sebaik-baiknya.
Meski berprofesi sebagai polisi, seorang polwan juga seorang wanita yang tak bisa memungkiri kodratnya. Polwan adalah wujud implementasi dari emansipasi wanita untuk turut berjuang dan membangun bersama komponen masyarakat secara integral. Hal ini harus diingat oleh seluruh anggota Polwan. Tidak adanya beda peran Polwan dengan polisi pria, keduanya mempunyai tanggungjawab yang sama untuk memajukan masyarakat. Untuk itu sudah selayaknya seorang polwan sejajar dengan polisi pria untuk mewujudkan polisi yang professional dan dekat dengan rakyat. Sebagai anggota dan bagian dari korp kepolisian selayaknyalah seorang polwan menjaga citra. Dimanapun ia bertugas di reserse, lalu lintas, binamitra dan jabatan lainnya seorang Polwan harus mampu bekerja secara maksimal tanpa melupakan jati dirinya yang juga seorang perempuan.
Untuk itu setiap anggota Polwan harus dapat mawas diri terhadap hakikat Polwan dan Polri pada umumnya dan jati diri seorang anggota Polri untuk kemudian menjadikan diri sebagai Polri yang baik dan dapat dibanggakan masyarakat, bangsa dan negara. Ini penting mengingat seorang anggota Polwan merupakan bagian integral dari penentu sukses tidaknya pembangunan nasional. Karena itulah setiap anggota Polwan harus dapat merealisasikan tugasnya sebagai:
Alat penegak hukum, yang mana Polwan harus memelihara dan meningkatkan tertib hukum di masyarakat sekaligus bisa menjadi polisi bagidiri sendiri dan orang lain.
Pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
Membina ketenteraman masyarakat secara bersama-sama segenap kekuatanmasyarakat guna mewujudkan kamtibmas.
Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan kamtibmas.
Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan tugas Polwan, maka setiap anggota Polwan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus selalu bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Karenanya, setiap anggota Polwan dan Polri pada umumnya, dituntut untuk mengutamakan tindakan pencegahan, bukan membiarkan. integral dari Polri jelas membutuhkan peningkatan kiprah dan pembinaan kemampuan profesionalismenya dilaksanakan secara lebih berkesinambungan. Terutama menyangkut pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengamanannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan dan pelatihan serta penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
Kegiatan pembinaan tersebut harus didukung sikap dan perilaku setiap anggota Polwan yang harus selalu terikat pada kode etik profesi Polri, yang menekankan hakikat Polri dan keharusan menjunjung norma-norma yang ada. Perlu kiranya peningkatan kiprah dan kemampuannya mendapatkan perhatian dan tindak lanjut secara ekstra. Hanya melalui cara-cara itulah Polwan akan dapat lebih diberdayagunakan agar dapat berkiprah secara lebih optimal dan profesional sekaligus dapat menjadi barisan terdepan demi tegaknya hukum dan pengayoman masyarakat, bangsa dan negara.

Korupsi dan Budaya

0 comments
Pengertian
Dalam pengertian etimologis, korupsi (korruptie, bahasa Belanda) mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian.
Dalam konteks politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Jelas, ia adalah benalu dalam tetumbuhan kenegaraan yang sedang berkembang dan bermekaran. (Suara Karya Online, Rabu, 22 Juni 2005 )

Sejarah
Korupsi memang bukan barang langka di negeri ini. Barangkali bangsa ini sudah terjangkit dalam stadium kronis, yaitu bukan endemik saja, tetapi sudah menjadi sistemik. Sulit rasanya bagi kita, khususnya pejabat publik, untuk mengatakan haram terhadap perilaku korup dalam kehidupan sehari-hari.
Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya tanggal 15 April 1805. Sebagaimana dikisahkan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard menjadi kaya raya karena uang sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Seorang pribumi yang ingin memperoleh jabatan memberi upeti kepada dia berupa uang, barang, dan jasa lain, yang jumlahnya sesuai jenjang jabatannya. Untuk satu jabatan yang diincar beberapa orang, dia mendapat upeti dari semua orang itu. Dia tinggal memilih pemberi upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.
Dari konteks historis-universal (Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik, 2004), korupsi sudah terjadi semenjak Kekaisaran Romawi ketika terjadi kasus penyuapan hakim saat itu. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno, korupsi terjadi dalam bentuk dan aktivitas kepemerintahan. Misalnya, Hammurabi (Babilonia), yang memerintah tahun 1200 SM, pernah memerintahkan aparaturnya untuk menyelidiki masalah penyuapan. Shamash (Raja Asiria) sekitar tahun 200 SM menghukum hakim yang menerima uang suap. Berbagai cerita lainnya juga menunjukkan bahwa sejarah korupsi sudah setua sejarah manusia.

Menurut kami korupsi yang merajalela di Indonesia disebabkan oleh faktor budaya dan faktor struktur/ sistem politik yang berkembang di negara ini.
Faktor Budaya
Di Kabupaten Manggarai (Barat), NTT, ada budaya harat kope, yaitu kebiasaan tukang potong hewan untuk mengambil sebagian kecil daging hewan potongan dan menyembunyikannya di bawah dedaunan tempat daging hewan itu dibagi-bagikan kepada warga sekampung. Disadari atau tidak, sikap dan aksi koruptif seseorang di tempatnya bekerja merupakan model lain budaya harat kope dengan porsi yang, kalau tak terkontrol, cenderung meningkat. Artinya, jumlah curian bisa tidak lagi sekecil gaya harat kope, tetapi sebesar triliun rupiah milik rakyat. (POS KUPANG HALAMAN 4 Edisi: Rabu 5 Maret 2003).
Mohtar Mas'oed, dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Pustaka Pelajar, 1999), menjelaskan, masyarakat Indonesia, mempunyai faktor budaya yang dapat mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu, di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi. Pemberian hadiah ini seperti parsel ataupun hadiah lain yang biasanya diberikan masyarakat indonesia sudah menjadi barang biasa untuk menghormati atasanya ataupun merupakan sebuah cara untuk menghargai orang lain
Kedua, orang Indonesia lebih ikatan keluarga dan kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memerhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk meminta perlakuan khusus, sulit ditolak. Penolakan bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi, menuruti permintaan berarti mengingkari norma-norma hukum formal yang berlaku, yaitu hukum Barat (KUHP dan lainnya). Sehingga, terjadi konflik nilai, yaitu antara pertimbangan kepentingan keluarga atau kepentingan negara.
Selain itu korupsi berkembang pesat di Indonesia juga disebabkan oleh budaya paternalistis yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, di mana hubungan antara masyarakat masih didasarkan pada patron klien. Tingkah laku orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang dianggap menjadi anutan, tanpa mempersoalkan apa yang dilakukan anutan, benar atau tidak. Nilai dan kebiasaan dalam budaya ini berkembang di kalangan elite politik Indonesia. Yang menjadi permasalahannya, adalah nilai-nilai, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial itu dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima masyarakat yang lebih luas. Hal itu terjadi karena para elite politik adalah tokoh anutan masyarakat.
Demikian pun dalam bidang ekonomi, gaya hidup kelas menengah kota, mudah menjalar dan ditiru strata sosial lain, walaupun pendapatan yang meniru itu tidak cukup mencukupi. Elite politik, pemuka agama dan tokoh masyarakat dianggap menjadi model yang tepat, mereka diharapkan untuk bertingkah laku benar, sehingga tingkah laku pengikutnya akan benar. Kalau anutan, bertingkah laku sembarangan, hal yang sama akan ditiru dengan segera oleh para pengikutnya.

Faktor Struktur/ Sistem Politik
Dalam sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan kita, barangkali sudah tidak awam lagi politik ideologi permissivisme ala Machiavelli, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, menjadi kelaziman. Ini bisa dilihatmelihat perilaku para elite politisi, kita dapat melihat bahwa modus operandi penipuan dan kejahatan publik dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dibungkus dengan rekayasa politis yang menyesatkan. Persis seperti yang umum terjadi dalam kultur zaman Orde Baru. Siapa yang berkuasa maka ia akan dapat kesempatan dan peluang untuk berkorupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. Dari pemerintahan level bawah hingga atas di negeri ini, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau di Biro Haji Departemen Agama yang mencuat beberapa saat lalu, dalam fakta lain menunjukkan kredibilitas individu (intelektual-aktivis atau agamawan) telah terserap ke dalam sistem yang sarat korup. Banyak individu yang dianggap mempunyai kridibilitas ataupun dianggap sebagai seorang yang ”suci” oleh sebagian orang terjebak dalam sistem yang cukup memberikan kesempatan untuk berkorupsi. Mereka seakan-seakan tidak bisa lepas dari perilaku korupsi ini.
Struktur kita memang telah diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga, Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik.
Demi melanggengkan kekuasaannya, (mantan Presiden) Suharto memang sengaja membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya. Disamping itu jika di kemudian hari Suharto harus turun tidak akan ada yang berani membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. Bagi Suharto semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya sebagai seorang penguasa tunggal..

Pencegahan dan Penanggulangan
Langkah tepat untuk mencegah korupsi, ialah malaui pendidikan antikorupsi, yang ditanamkan kepada anak-anak, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Pendidikan antikorupsi, intinya mendidik anak bangsa untuk menjadi jujur, terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan. Anak-anak harus dididik untuk dapat menerima amanat, yaitu tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjalankan sesuatu yang menjadi kewajiban atau tanggung jawabnya. Pendidikan akhlak itu harus diberikan selaras dengan pendidikan budi pekerti. Budi pekerti tidak terikat dengan suatu agama tertentu dan mencakup nilai-nilai luhur yang dapat diterima semua agama. Dalam pendidikan tidak ada metode yang lebih baik daripada memberikan keteladanan.
Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalam pembangunan karakter itu mempunyai lingkup luas. Di antaranya nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, bangsa, dan agama, yang diharapkan bisa menghasilkan rasa saling mengasihi, saling mengerti, saling menghormati dan saling bantu. Selain itu, ditanamkan penghargaan terhadap kerja, sedangkan materi atau uang bukanlah tujuan utama. Dengan itu diharapkan bisa dicegah kecenderungan untuk menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.
Pendidikan budi pekerti, pendidikan antikorupsi, dan pembangunan karakter, dilakukan untuk membentuk antikorupsi yang bersifat preventif, yang baru akan diketahui hasilnya jauh di kemudian hari. Ia mengingatkan, pendidikan itu tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan kalau tidak didukung langkah represif, yaitu pemberian sanksi hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu.