Jumat, 10 Oktober 2008

Korupsi dan Budaya

Pengertian
Dalam pengertian etimologis, korupsi (korruptie, bahasa Belanda) mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian.
Dalam konteks politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Jelas, ia adalah benalu dalam tetumbuhan kenegaraan yang sedang berkembang dan bermekaran. (Suara Karya Online, Rabu, 22 Juni 2005 )

Sejarah
Korupsi memang bukan barang langka di negeri ini. Barangkali bangsa ini sudah terjangkit dalam stadium kronis, yaitu bukan endemik saja, tetapi sudah menjadi sistemik. Sulit rasanya bagi kita, khususnya pejabat publik, untuk mengatakan haram terhadap perilaku korup dalam kehidupan sehari-hari.
Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya tanggal 15 April 1805. Sebagaimana dikisahkan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard menjadi kaya raya karena uang sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan. Seorang pribumi yang ingin memperoleh jabatan memberi upeti kepada dia berupa uang, barang, dan jasa lain, yang jumlahnya sesuai jenjang jabatannya. Untuk satu jabatan yang diincar beberapa orang, dia mendapat upeti dari semua orang itu. Dia tinggal memilih pemberi upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.
Dari konteks historis-universal (Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik, 2004), korupsi sudah terjadi semenjak Kekaisaran Romawi ketika terjadi kasus penyuapan hakim saat itu. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno, korupsi terjadi dalam bentuk dan aktivitas kepemerintahan. Misalnya, Hammurabi (Babilonia), yang memerintah tahun 1200 SM, pernah memerintahkan aparaturnya untuk menyelidiki masalah penyuapan. Shamash (Raja Asiria) sekitar tahun 200 SM menghukum hakim yang menerima uang suap. Berbagai cerita lainnya juga menunjukkan bahwa sejarah korupsi sudah setua sejarah manusia.

Menurut kami korupsi yang merajalela di Indonesia disebabkan oleh faktor budaya dan faktor struktur/ sistem politik yang berkembang di negara ini.
Faktor Budaya
Di Kabupaten Manggarai (Barat), NTT, ada budaya harat kope, yaitu kebiasaan tukang potong hewan untuk mengambil sebagian kecil daging hewan potongan dan menyembunyikannya di bawah dedaunan tempat daging hewan itu dibagi-bagikan kepada warga sekampung. Disadari atau tidak, sikap dan aksi koruptif seseorang di tempatnya bekerja merupakan model lain budaya harat kope dengan porsi yang, kalau tak terkontrol, cenderung meningkat. Artinya, jumlah curian bisa tidak lagi sekecil gaya harat kope, tetapi sebesar triliun rupiah milik rakyat. (POS KUPANG HALAMAN 4 Edisi: Rabu 5 Maret 2003).
Mohtar Mas'oed, dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Pustaka Pelajar, 1999), menjelaskan, masyarakat Indonesia, mempunyai faktor budaya yang dapat mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu, di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi. Pemberian hadiah ini seperti parsel ataupun hadiah lain yang biasanya diberikan masyarakat indonesia sudah menjadi barang biasa untuk menghormati atasanya ataupun merupakan sebuah cara untuk menghargai orang lain
Kedua, orang Indonesia lebih ikatan keluarga dan kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memerhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk meminta perlakuan khusus, sulit ditolak. Penolakan bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi, menuruti permintaan berarti mengingkari norma-norma hukum formal yang berlaku, yaitu hukum Barat (KUHP dan lainnya). Sehingga, terjadi konflik nilai, yaitu antara pertimbangan kepentingan keluarga atau kepentingan negara.
Selain itu korupsi berkembang pesat di Indonesia juga disebabkan oleh budaya paternalistis yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, di mana hubungan antara masyarakat masih didasarkan pada patron klien. Tingkah laku orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang dianggap menjadi anutan, tanpa mempersoalkan apa yang dilakukan anutan, benar atau tidak. Nilai dan kebiasaan dalam budaya ini berkembang di kalangan elite politik Indonesia. Yang menjadi permasalahannya, adalah nilai-nilai, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial itu dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima masyarakat yang lebih luas. Hal itu terjadi karena para elite politik adalah tokoh anutan masyarakat.
Demikian pun dalam bidang ekonomi, gaya hidup kelas menengah kota, mudah menjalar dan ditiru strata sosial lain, walaupun pendapatan yang meniru itu tidak cukup mencukupi. Elite politik, pemuka agama dan tokoh masyarakat dianggap menjadi model yang tepat, mereka diharapkan untuk bertingkah laku benar, sehingga tingkah laku pengikutnya akan benar. Kalau anutan, bertingkah laku sembarangan, hal yang sama akan ditiru dengan segera oleh para pengikutnya.

Faktor Struktur/ Sistem Politik
Dalam sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan kita, barangkali sudah tidak awam lagi politik ideologi permissivisme ala Machiavelli, menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, menjadi kelaziman. Ini bisa dilihatmelihat perilaku para elite politisi, kita dapat melihat bahwa modus operandi penipuan dan kejahatan publik dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dibungkus dengan rekayasa politis yang menyesatkan. Persis seperti yang umum terjadi dalam kultur zaman Orde Baru. Siapa yang berkuasa maka ia akan dapat kesempatan dan peluang untuk berkorupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. Dari pemerintahan level bawah hingga atas di negeri ini, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kasus tindak pidana korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau di Biro Haji Departemen Agama yang mencuat beberapa saat lalu, dalam fakta lain menunjukkan kredibilitas individu (intelektual-aktivis atau agamawan) telah terserap ke dalam sistem yang sarat korup. Banyak individu yang dianggap mempunyai kridibilitas ataupun dianggap sebagai seorang yang ”suci” oleh sebagian orang terjebak dalam sistem yang cukup memberikan kesempatan untuk berkorupsi. Mereka seakan-seakan tidak bisa lepas dari perilaku korupsi ini.
Struktur kita memang telah diciptakan untuk menjadi koruptif, karena ada struktur yang membiarkan praktek korupsi merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga, Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia menjadi penting dilihat dari kacamata publik.
Demi melanggengkan kekuasaannya, (mantan Presiden) Suharto memang sengaja membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati kekayaan materi yang melimpah ruah sehingga nantinya tidak ada seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya. Disamping itu jika di kemudian hari Suharto harus turun tidak akan ada yang berani membawanya ke pengadilan, karena orang-orang itu bisa terbawa-bawa, dan adanya ikatan moral korupsi pada orang-orang tersebut. Bagi Suharto semakin banyak orang yang korupsi maka semakin kuat pula posisinya sebagai seorang penguasa tunggal..

Pencegahan dan Penanggulangan
Langkah tepat untuk mencegah korupsi, ialah malaui pendidikan antikorupsi, yang ditanamkan kepada anak-anak, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Pendidikan antikorupsi, intinya mendidik anak bangsa untuk menjadi jujur, terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan. Anak-anak harus dididik untuk dapat menerima amanat, yaitu tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjalankan sesuatu yang menjadi kewajiban atau tanggung jawabnya. Pendidikan akhlak itu harus diberikan selaras dengan pendidikan budi pekerti. Budi pekerti tidak terikat dengan suatu agama tertentu dan mencakup nilai-nilai luhur yang dapat diterima semua agama. Dalam pendidikan tidak ada metode yang lebih baik daripada memberikan keteladanan.
Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalam pembangunan karakter itu mempunyai lingkup luas. Di antaranya nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, bangsa, dan agama, yang diharapkan bisa menghasilkan rasa saling mengasihi, saling mengerti, saling menghormati dan saling bantu. Selain itu, ditanamkan penghargaan terhadap kerja, sedangkan materi atau uang bukanlah tujuan utama. Dengan itu diharapkan bisa dicegah kecenderungan untuk menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.
Pendidikan budi pekerti, pendidikan antikorupsi, dan pembangunan karakter, dilakukan untuk membentuk antikorupsi yang bersifat preventif, yang baru akan diketahui hasilnya jauh di kemudian hari. Ia mengingatkan, pendidikan itu tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan kalau tidak didukung langkah represif, yaitu pemberian sanksi hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu.

0 comments: