Buruknya citra polisi di mata masyarakat tidak lepas dari buruknya peran yang diberikan oleh institusi tersebut, banyak hal yang dilakukan oknum-oknum polisi tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat luas. Polisi dianggap sebagai srigala berbulu domba, banyak oknum-oknum polisi yang memanfaatkan “seragamnya” untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Tak sedikit pula oknum polisi yang mengandalkan jabatannya untuk memanfaatkan celah-celah hukum yang ada guna memperoleh “uang saku tambahan”. Bahkan tindakan para oknum polisi ini sudah dianggap lumrah, sehingga menjadi suatu budaya. Budaya yang amat kuat ini tidaklah mudah diberantas, pergantian puncuk pimpinan yang silih berganti belum menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan yang berarti. Bahkan berubahnya Polri menjadi instusi sipil beberapa tahun lalu, juga tidak memberikan sumbangan yang cukup untuk perubahan yang lebih baik. Walaupun gebrakan Kapolri terbaru (Sutanto) patut diacungi jempol dalam penanganan masalah judi togel dan beberapa penyakit masyarakat lainnya.
Selain citra buruk yang ada di Polri, ada satu elemen polisi yang tak kalah menarik untuk dibahas, yaitu peran polisi wanita (polwan) dalam Polri itu sendiri dan perannya di masyarakat. Para polisi wanita masih dipandang sebelah mata, hal ini tidak lepas dari harapan masyarakat terhadap sosok polisi yang tegas, berwibawa dan tanpa kompromi. Hal ini tidak hanya muncul dari polisi laki-laki sendiri namun juga dari polisi wanita tersebut sendiri, banyak polisi wanita yang merasa nyaman diperlakukan seperti itu dengan segala keuntungan yang diperoleh. Dalam diskusi terbatas mengenai Perspektif Polwan di Mata Non-Polri, sebagai permulaan riset mengenai ”Woman in Uniform” yang diselenggarakan Partnership (Kemitraan)—dalam upaya mereformasi pemerintahan Indonesia, mencuatkan berbagai persoalan polwan yang menarik untuk dicermati. Misalnya saja mengenai berapa jumlah ideal polwan, bagaimana tuntutan masyarakat, bidang tugas apa saja yang cocok untuk polwan, adakah bakat atau skill khusus yang dimiliki mereka yang tak dimiliki polki, perspektif jender yang bagaimana tepatnya serta bagaimana perspektif peran mereka dalam keluarga terkait posisinya sebagai penegak hukum (Kompas, Kamis, 1 September 2005)
Polwan sejauh ini masih belum mempunyai peran yang penting dalam jajaran kepolisian. Selain jumlahnya yang sangat terbatas, kebanyakan Polwan yang bertugas lebih bertanggungjawab pada masalah administrasi. Polisi laki-laki tidak terlalu suka dengan pekerjaan administrasi, untuk itu setiap ada Polwan pasti ditugaskan untuk mengurus masalah administrasi. Padahal tugas Polwan sebenarnya ujung tombak dari penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Indonesia.
Peningkatan jumlah Polwan ini juga penting karena seiring dengan semakin terkuaknya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang jumlahnya cukup tinggi. Menurut Laporan Komnas Perempuan tahun 2005, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2004 sebanyak 14.020. Angka ini mengalami kenaikan hampir 100 persen dari tahun 2003 yaitu 7787 kasus yang sebagian besar kasus kekerasan terjadi dalam rumah tangga (www.jurnalperempuan.com).
Dalam berbagai pengamatan, selain jumlahnya sedikit, posisi polwan juga kerap terlecehkan oleh institusinya sendiri. Namun, bila mereka diberi peran layaknya polisi laki-laki yang harus memburu penjahat, ada cerita polwan yang justru ditabrak penjahat dan penjahat itu akhirnya malah kabur. Pengerdilan lain dapat dilihat setiap kali kita masuk ke ruang pejabat Polri. Seringkali kita menjumpai sosok polwan yang berkulit halus, jangkung, dan cantik-cantik bak model. Sampai-sampai sulit membedakan apakah mereka itu seorang polisi, atau sekretaris sebuah perusahaan ternama. Sangat berbeda bila kita bandingkan dengan polwan yang bertugas di divisi atau bidang humas, Direktorat Lalu Lintas yang bertugas dijalan, bagian reserse lapangan, intelijen di lapangan, dan bidang-bidang lain yang berurusan dengan kegiatan di lapangan. Padahal, di bidang-bidang itu mereka lebih memiliki arti karena langsung bersentuhan dan dibutuhkan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini Polisi Wanita (Polwan) masih belum optimal pemberdayaannya dalam hal mendukung terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Polwan selama ini tampaknya masih terbatas sebagai pelengkap polisi pria dalam pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari. Kalaupun ada pemberdayaan peran Polwan, umumnya masih terbatas pada bidang administrasi dan pembinaan masyarakat. Kalaupun ada penonjolan dalam hal darurat, biasanya hanya pada saat ada unjuk rasa yang mana dengan keluwesannya Polwan dikedepankan sebagai negosiator. Sedangkan peran yang diberikan kepada Polwan di luar ke-binmasan (pembinaan masyarakat) atau kemitraan dan bidang administrasi bila dirasa sangat kurang, hal itu berkaitan dengan anggapan bahwa, dunia kerjanya memang berat bagi wanita, sehingga bidang kerja tersebut didominasi Polisi pria, sedangkan Polwan cenderung sebagai pelengkap saja. Untuk itu, bisa kita lihat adanya bidang kelalulintasan yang melibatkan Polwan. Pemberdayaan Polwan di bidang kelalulintasan umumnya hanya sebagai pembantu Polisi pria. Terutama dalam menjaga kelancaran lalu lintas di tempat-tempat tertentu (yang tidak begitu ramai), khususnya lagi untuk bertugas menyeberangkan anak-anak sekolah atau penyeberang jalan lainnya. Tak terkecuali dalam penanganan Surat Izin Mengemudi (SIM) atau Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Polwan cenderung ditempatkan sebagai urusan administrasi di belakang meja saja, tidak di lapangan untuk menguji secara langsung
Bukan hanya dari segi jumlah saja yang menjadi persoalan, eksistensi polwan dalam institusi Polri juga masih dipertanyakan. Polwan jarang mendapatkan posisi komando operasional dan karier mereka biasanya tidak bisa mencapai level yang tinggi. Dulu polwan yang berpangkat Brigadir Jenderal berjumlah enam orang, tetapi sekarang tidak ada lagi. Bahkan polwan yang berpangkat Komisaris Besar pun hanya sedikit saja jumlahnya. Eksistensi ini sangatlah penting intuk memotivasi polwan itu sendiri. Seseorang akan lebih termotivasi bila keberadaanya diakui oleh pihak lain. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaanya tersebut, akan merasa mereka menjadi salah satu bagian dari Polri. Dan hal ini tentunya akan berimbas pada performansi kerja dari polwan itu sendiri. Mereka akan berusaha menjalankan peran polwan tersebut sebaik-baiknya.
Meski berprofesi sebagai polisi, seorang polwan juga seorang wanita yang tak bisa memungkiri kodratnya. Polwan adalah wujud implementasi dari emansipasi wanita untuk turut berjuang dan membangun bersama komponen masyarakat secara integral. Hal ini harus diingat oleh seluruh anggota Polwan. Tidak adanya beda peran Polwan dengan polisi pria, keduanya mempunyai tanggungjawab yang sama untuk memajukan masyarakat. Untuk itu sudah selayaknya seorang polwan sejajar dengan polisi pria untuk mewujudkan polisi yang professional dan dekat dengan rakyat. Sebagai anggota dan bagian dari korp kepolisian selayaknyalah seorang polwan menjaga citra. Dimanapun ia bertugas di reserse, lalu lintas, binamitra dan jabatan lainnya seorang Polwan harus mampu bekerja secara maksimal tanpa melupakan jati dirinya yang juga seorang perempuan.
Untuk itu setiap anggota Polwan harus dapat mawas diri terhadap hakikat Polwan dan Polri pada umumnya dan jati diri seorang anggota Polri untuk kemudian menjadikan diri sebagai Polri yang baik dan dapat dibanggakan masyarakat, bangsa dan negara. Ini penting mengingat seorang anggota Polwan merupakan bagian integral dari penentu sukses tidaknya pembangunan nasional. Karena itulah setiap anggota Polwan harus dapat merealisasikan tugasnya sebagai:
Alat penegak hukum, yang mana Polwan harus memelihara dan meningkatkan tertib hukum di masyarakat sekaligus bisa menjadi polisi bagidiri sendiri dan orang lain.
Pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
Membina ketenteraman masyarakat secara bersama-sama segenap kekuatanmasyarakat guna mewujudkan kamtibmas.
Membimbing masyarakat bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan kamtibmas.
Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan tugas Polwan, maka setiap anggota Polwan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus selalu bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Karenanya, setiap anggota Polwan dan Polri pada umumnya, dituntut untuk mengutamakan tindakan pencegahan, bukan membiarkan. integral dari Polri jelas membutuhkan peningkatan kiprah dan pembinaan kemampuan profesionalismenya dilaksanakan secara lebih berkesinambungan. Terutama menyangkut pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengamanannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan dan pelatihan serta penugasan secara berjenjang dan berlanjut.
Kegiatan pembinaan tersebut harus didukung sikap dan perilaku setiap anggota Polwan yang harus selalu terikat pada kode etik profesi Polri, yang menekankan hakikat Polri dan keharusan menjunjung norma-norma yang ada. Perlu kiranya peningkatan kiprah dan kemampuannya mendapatkan perhatian dan tindak lanjut secara ekstra. Hanya melalui cara-cara itulah Polwan akan dapat lebih diberdayagunakan agar dapat berkiprah secara lebih optimal dan profesional sekaligus dapat menjadi barisan terdepan demi tegaknya hukum dan pengayoman masyarakat, bangsa dan negara.
5 Tren Investasi di 2025: Mana yang Paling Cocok untuk Anda?
6 hari yang lalu
1 comments:
Hi all. How are you?
Posting Komentar