Setelah lama diperjuangkan akhirnya UUPKDRT diundangkan oleh Presiden Megawati pada 22 September 2004, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 . Undang-Undang ini telah diperjuangkan lebih dari 6 tahun. Advokasi dilakukan sejak tahun 1997 yang kemudian menjadi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU KDRT) inisiatif DPR pada Mei 2003. yang selanjutnya di bahas di Pansus Komisi VII DPR-RI yang akhirnya disahkan dalam sidang paripurna 14 November 2004.
Tentu saja keberhasilan ini merupakan patut di banggakan oleh semua pihak. Hal ini merupakan langkah maju dalam sejarah perjuangan kaum perempuan yang selama ini dianggap sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada beberapa hal yang ada dalam UU Penghapusan KDRT yang patut dicermati. Diantaranya adalah ketegasan bahwa KDRT merupakan tindak kejahatan, lalu adanya ketegasan tanggung jawab negara dan masyarakat intuk melindungi korban kekerasan. Kemudian diakuinya bentuk-bentuk KDRT selain kekerasan fisik, yaitu kekerasan psikis, seksual dan ekonomi. Selain itu juga tentang pemaksaan hubungan seksual yang tidak wajar sebagai kejahatan yang harus dihukum.
Di dalam UUPKDRT itu juga berisi tetang tujuan UU yang tidak hanya melindungi korban tapi juga mencegah terjadinya kekerasan, adanya hak-hak korban dan peran-peran polisi, advokad, pekerja sosial, tenaga kesehatan dan pedamping korban. Dan juga diterimanya pembuktian seorang saksi korban sebagai alat bukti sah.
Secara umum Undang-undang ini di bagi dalam 10 BAB, 56 pasal yang isinya secara ringkas sebagai berikut:
Arti dari KDRT
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Pasal 1 ayat 1)
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Lingkup rumah tangga yang dilindungi
Suami, isteri, dan anak,orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. (pasal 2 ayat 1)
Bentuk-bentuk KDRT yang diatur
a.Kekerasan fisik. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. (pasal 6)
b.Kekerasan psikis. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)
c.Kekerasan seksual; Kekerasan seksual meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (pasal 8)
d.penelantaran rumah tangga. (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (pasal 9)
Hak-Hak Korban
Korban berhak mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani. (pasal 10) dan juga pemulihan (pasal 39)
Kewajiban Pemerintah Dan Masyarakat
Pemerintah:
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT (pasal 11) dengan merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (pasal 12).
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a. penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani; c. pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan d. memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.(pasal 13)
Masyarakat:
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. (pasal 15)
Kepolisian:
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (pasal 18); Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (pasal 19); Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan sementara sebagaimana diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani. Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan
Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas Pasal 35 (1). Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. (pasal 36)
Pengadilan:
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut (pasal 28).
Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut (pasal 30 ayat 2)
Pengadilan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus,mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan (Pasal 31 ayat1).
Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan perintah perlindungan. Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani (pasal 33). Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan kondisi dalam perintah perlindungan (pasal 34 ayat 1)
Apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari disertai dengan surat perintah penahanan. (pasal 38)
Pelaporan dan Permohonan Perintah Perlindungan
Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara (pasal 26).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 27).
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: a. korban atau keluarga korban; b. teman korban; c. kepolisian; d. relawan pendamping; atau e. pembimbing rohani (pasal 29) dan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. (pasal 30)
Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Yang diajukan 7 hari sebelum berakhir masa berlakunya (pasal 32 )
Sanksi
Pelaku kekerasan dapat dikenai sanksi pidana dan penjara (pasal 44-49), serta sanksi tambahan yaitupembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu (pasal 50). Pelaku kekersan seksual dapat dipidana penjara paling lama 112 tahun atau denda paling banyak 36 juta rypiah dan apabila dilakukan untuk tujuan komersial dipidana paling singkat 4 tahun, paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit 12 juta dan paling banyak 300 juta
Kelebihan
Pertama, kasus KDRT bukan lagi delik aduan dari korban. Bahkan dalam pasal 15 diungkapkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya, termasuk melaporkan ke polisi.
Kedua, syaratnya lebih ringan, cukup dengan seorang saksi ditambah satu alat bukti sudah sah dan dapat digunakan untuk membuktikan seseorang terdakwa bersalah. Korban KDRT bisa menjadi saksi, tidak perlu lagi saksi lain. Hal ini akan mempermudah pembuktian mengingat peristiwa KDRT yang umumnya hanya diketahui oleh pelaku dan korban dan terjadi di ruang domestik, yang tertutup.
Ketiga, adanya wewenang kepolisian yang lebih tinggi, sebab kepolisian dapat menangkap pelaku untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah (surat menyusul) terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. Terlebih penangguhan penahanan tidak berlaku.
Keempat, memprioritaskan penyelesaian perkara KDRT, walaupun ada tuntutan balik yang diajukan pelaku. Hal ini penting, karena selama ini ketakutan adanya tuntutan balik pelakulah yang membuat korban tidak mau melaporkan kasusnya, karena umumnya korban tidak mempunyai saksi atau alat bukti yang lain.
Kelima, lebih memberikan perlindungan pada korban. Bahkan bila dicermati, masalah perlindungan korban mendapat porsi pengaturan yang besar, diatur dalam 22 pasal (dari pasal 16 - 38), 40 persen dari 55 pasal yang ada. Dalam pasal 16 misalnya dinyatakan bahwa dalam waktu 1 X 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban tanpa diskriminasi.
Kekurangan
Tidak mengatur hukuman minimal lecuali untuk kejahatan yang diatur pada pasal 47 dan pasal 48. hal ini bisa berakibat pada rendahnya hukuman yang dijatuhkan pada hakim karena keputusannya dikembalikan pada keyakinan dan rasa adil dari hakim. Jika kesadaran gender masih rendah dalam diri mereka, tidak menutup kemungkinan justru korban yang disalahkan dan dijatuhi hukuman yang sangat ringan.
Ruang lingkup KDRT yang terbatas pada suami, isteri, dan anak,orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, serta orang yang bekerja membantu rumah tangga tidak mencangkup mantan pasangan dan mereka yang memiliki relasi intim diluar yang disebutkan. Padahal banyak kekerasan terjadi dilakukan oleh relasi hidup bersama dan mantan pasangan.
Tidak diaturnya peran hakim dan jaksa secara jelas dan tegas. Padahal peran kedua institusi tersebut menentukan bagi berjalan atau tidaknya UU PKDRT. Jika kedua institusi diatur dengan jelas maka akan timbul kekhawatirkan akan adanya mafia peradilan yang selama ini menjadi noda hitam peradilan kita.